JAKARTA – Lahan bekas tambang di berbagai daerah Indonesia kini menjelma menjadi lanskap mati yang nyaris mustahil dipulihkan. Alih-alih direklamasi dengan baik, kawasan-kawasan bekas tambang justru meninggalkan warisan luka ekologis yang dalam. Tak hanya kehilangan fungsi ekologisnya, banyak dari lahan tersebut bahkan tidak bisa ditanami kembali dan gagal menopang kehidupan di sekitarnya.
Laporan yang dihimpun redaksi dari berbagai sumber, termasuk laporan ilmiah, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menunjukkan bahwa kerusakan ini bukan hanya bersifat jangka pendek, melainkan bisa berlangsung selama puluhan hingga ratusan tahun.
Di beberapa wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, hingga Bangka Belitung, tanah bekas tambang kehilangan lapisan suburnya. Studi menyebut suhu tanah bisa mencapai 60°C di siang hari, menyebabkan air hujan tak terserap dan tanaman gagal hidup. Bekas tambang emas semprot misalnya, meninggalkan lapisan pasir steril hingga sembilan meter yang tidak mampu mendukung kehidupan biologis.
“Ini bukan tanah lagi. Ini semacam gurun buatan. Tidak ada kehidupan yang bisa bertahan di sini,” – Warga Kalimantan Tengah.
KLHK menargetkan rehabilitasi 800.000 hektare lahan bekas tambang. Namun, data hingga akhir 2023 menunjukkan hanya sekitar 265.000 hektare yang telah direklamasi, sebagian besar tanpa hasil ekologis yang nyata.
“Banyak reklamasi hanya formalitas: ditanami tanaman penutup lalu ditinggalkan. Tidak ada ekosistem yang terbentuk,” kata Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq dalam RDP awal tahun 2025.
Di Bangka Belitung, WALHI mencatat dari lebih 1.500 hektare kawasan rusak, hanya sekitar 12% yang berhasil direklamasi oleh PT Timah. Reklamasi hanya berupa taburan pohon tanpa pemulihan tanah secara menyeluruh.
“Pohon ditanam, tapi mati. Tanah tidak subur. Air permukaan hilang. Semua ditinggal setelah selesai tambang,” – Dian Ekawati, WALHI Babel.
Di Sulawesi Selatan, PT Vale sempat mengklaim telah mereklamasi puluhan hektare. Namun investigasi WALHI menemukan lahan kembali rusak karena tidak ada pemeliharaan lanjutan.