JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) resmi melaporkan dugaan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji 2025 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (5/8/2025). Laporan itu menyoroti pemangkasan spesifikasi makanan jemaah, pungutan liar oleh ASN, serta praktik monopoli dalam layanan masyair. ICW menyebut potensi kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp255 miliar.
Menurut ICW, makanan yang diberikan kepada jemaah tidak hanya dikurangi dari segi gramasi, tetapi juga dari sisi kandungan gizi. Dalam laporan resminya, ICW menyebut rata-rata kalori makanan hanya berkisar 1.715 hingga 1.765 kkal, jauh dari standar minimal 2.100 kkal per hari.
“Ini jelas merugikan negara dan merampas hak jemaah untuk mendapat layanan yang layak. Setiap porsi dikurangi sekitar 4 riyal, dan ini jika dikalikan dengan seluruh jemaah dan hari layanan, total kerugian mencapai Rp255 miliar,” tegas Wana Alamsyah, peneliti ICW.
ICW juga menemukan adanya dugaan pungutan liar senilai 0,8 riyal per porsi oleh oknum ASN yang terlibat dalam pengadaan makanan. Estimasi nilai pungli itu mencapai lebih dari Rp50 miliar.
Dalam sektor layanan masyair—yakni pelayanan jemaah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina—ICW mengungkap adanya praktik monopoli oleh dua perusahaan yang dikuasai oleh satu pemilik. Kedua entitas ini disebut menguasai sekitar 33% pangsa pasar layanan umum jemaah haji Indonesia.
“Praktik monopoli ini bukan hanya melanggar prinsip keadilan bisnis, tapi juga membuka celah besar bagi mark-up anggaran dan penyalahgunaan wewenang,” ujar Wana.
Menanggapi laporan tersebut, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyatakan bahwa KPK telah menerima dokumen dari ICW dan tengah memverifikasi kelengkapan serta validitasnya.
“Kami akan memverifikasi terlebih dahulu setiap dokumen dan informasi yang disampaikan ICW. Setelah itu, dilakukan telaah internal untuk menentukan kelayakan tindak lanjut sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” jelas Budi Prasetyo, Selasa (5/8/2025).
Budi juga menegaskan bahwa hasil verifikasi dan telaah tidak serta-merta dipublikasikan ke masyarakat luas. Informasi hanya disampaikan kepada pelapor sebagai bentuk akuntabilitas prosedural.