Jakarta, – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menegaskan bahwa operasi tangkap tangan (OTT) terhadap jaksa kini tidak lagi harus menunggu izin dari Jaksa Agung. Putusan bersejarah ini dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (16/10/2025).
Melalui putusan perkara Nomor 29/PUU-XXIII/2024, MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai adanya pengecualian dalam kondisi tertentu.
“Frasa izin dari Jaksa Agung dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Kejaksaan tidak berlaku dalam hal jaksa tertangkap tangan, atau terdapat bukti permulaan yang cukup terhadap tindak pidana berat seperti kejahatan terhadap keamanan negara, korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya,” demikian bunyi amar putusan yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo.
Dengan demikian, lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kepolisian dapat melakukan penindakan langsung terhadap jaksa tanpa harus menunggu restu dari Jaksa Agung, apabila situasi hukum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam putusan tersebut.
Batasi Imunitas, Tegakkan Kesetaraan Hukum
MK menegaskan bahwa perlindungan hukum terhadap jaksa tidak boleh dimaknai sebagai bentuk kekebalan hukum absolut. Menurut para hakim konstitusi, jaksa tetaplah warga negara yang harus tunduk pada asas equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum.
“Imunitas bagi jaksa diperlukan untuk menjamin independensi dalam melaksanakan tugas, tetapi tidak boleh menjadi tameng untuk menghindari pertanggungjawaban pidana. Hukum harus berlaku sama bagi setiap orang, termasuk aparat penegak hukum,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pertimbangannya.
Putusan ini sekaligus memperkuat upaya reformasi lembaga penegak hukum agar lebih transparan dan akuntabel. MK memandang, praktik pemberian izin yang terlalu luas kepada Jaksa Agung dapat berpotensi menghambat proses penegakan hukum dan menimbulkan konflik kepentingan di internal Kejaksaan.