Respons pihak pengembang
Manajemen PT Palma Hijau Cemerlang menyatakan bahwa proyek yang mereka jalankan bertujuan mendukung konservasi sekaligus mengembangkan pariwisata berkelanjutan. Berikut kutipan resmi dari pihak pengembang:
“Kami tidak hanya membangun fasilitas wisata, tetapi juga mendukung pemulihan ekosistem. Fasilitas yang ada nantinya akan ramah lingkungan, memakai energi terbarukan, dan terintegrasi dengan program konservasi komodo. Saat ini kami masih melakukan konsultasi publik dan penyusunan dokumen lingkungan—kami siap mengikuti rekomendasi UNESCO.”
Protes publik dan risiko lingkungan
Warga lokal, kelompok masyarakat adat, dan aktivis lingkungan menyampaikan kekhawatiran besar. Mereka menilai bahwa skala proyek yang masif dapat menyebabkan fragmentasi habitat, gangguan langsung pada populasi komodo, serta tekanan pada sumber daya air dan pembuangan limbah yang belum jelas penyelesaiannya.
Beberapa organisasi mempersoalkan proses konsultasi publik yang dinilai kurang partisipatif dan transparan—mereka menuntut kajian independen, pemulihan hak-hak masyarakat setempat, dan model pariwisata berbasis komunitas.
Potensi dampak hukum dan reputasi
Jika UNESCO dan badan penilai internasional menilai proyek telah mengurangi nilai warisan dunia, Indonesia berisiko menghadapi pengawasan internasional yang dapat berpengaruh pada status Situs Warisan Dunia Taman Nasional Komodo. Hal ini juga berdampak pada citra pariwisata nasional dan kepercayaan pasar wisatawan internasional yang peduli lingkungan.
Catatan kepemilikan dan latar belakang politik
Investigasi publik memperlihatkan bahwa jejak kepemilikan awal KWE terkait keluarga Setya Novanto, termasuk catatan nama Rheza Herwindo dalam dokumen awal perusahaan. Seiring waktu, saham dan kontrol perusahaan beralih ke entitas yang terafiliasi dengan jaringan bisnis Tomy Winata. Hubungan silang ini memunculkan pertanyaan soal pengaruh bisnis-politik dalam perolehan konsesi.