Indeks

Pilkada Tak Langsung Mengemuka: Kemendagri dan Menko Polhukam Punya Pandangan Berbeda

Menurut Yusril, setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029, maka pemerintah dan DPR wajib segera merumuskan ulang Undang-Undang Pemilu, termasuk di dalamnya mekanisme pemilihan kepala daerah.

“Kalau pemilu lokal digeser 2,5 tahun setelah pemilu nasional tanpa revisi UUD 1945, maka itu bisa melanggar konstitusi. Karena UUD tegas menyebut pemilu setiap lima tahun sekali,” ujar Yusril saat memberi keterangan pers di Jakarta.

Ia memperingatkan bahwa jika tidak diikuti dengan amandemen atau revisi mendalam, pemisahan waktu pilkada bisa menimbulkan celah inkonstitusional, termasuk jika kepala daerah atau anggota DPRD diperpanjang masa jabatannya secara sepihak.

Meski tidak menyatakan secara langsung sikap atas wacana pilkada oleh DPRD, Yusril mengingatkan agar “setiap perubahan metode pemilihan harus terlebih dahulu mendapat legitimasi dari hukum tertinggi, yakni UUD 1945.”

Pertarungan Gagasan: Demokrasi Representatif vs Demokrasi Partisipatif

Perbedaan sudut pandang Kemendagri dan Kemenko Polhukam memperlihatkan perdebatan klasik antara dua kutub demokrasi: representatif (melalui DPRD) dan partisipatif (melalui pemilihan langsung). Kemendagri menilai efisiensi dan stabilitas lebih diutamakan, sementara Kemenko Polhukam fokus pada dasar hukum dan konstitusionalitas.

Publik kini menanti bagaimana arah kebijakan politik nasional terkait Pilkada 2029 akan diambil. Apakah tetap pada jalur pemilihan langsung oleh rakyat atau beralih ke pemilihan oleh DPRD dengan revisi menyeluruh terhadap sistem politik kita?

Yang jelas, perubahan sistem pemilihan kepala daerah bukan hanya soal teknis, tetapi menyangkut nasib demokrasi lokal yang telah dibangun selama dua dekade terakhir.

(Redaksi | @terkinijambi.com)

Nomor TDPSE : 023714.1/DJAI.PSE/05/2025

Exit mobile version