Jakarta – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengingatkan potensi bahaya dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai 2029. Menurutnya, kebijakan ini berisiko memperpanjang masa jabatan anggota DPRD hingga dua tahun tanpa legitimasi rakyat, yang bisa menjadi preseden buruk dalam sistem demokrasi Indonesia.
“Kalau pemilu daerah baru digelar 2,5 tahun setelah pemilu nasional, maka DPRD hasil Pemilu 2024 akan menjabat sampai 2031 atau 2032. Ini jelas tidak ada dasarnya karena rakyat tidak pernah memilih mereka untuk periode sepanjang itu,” tegas Yusril dalam keterangannya, Rabu (3/7).
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menetapkan bahwa pemilu nasional dan lokal sebaiknya tidak diselenggarakan serentak lagi. Dengan jadwal baru itu, pemilu presiden, DPR, dan DPD akan tetap digelar pada 2029, sedangkan pilkada dan pemilihan DPRD akan menyusul kemudian.
Yusril mempertanyakan dasar hukum untuk memperpanjang masa jabatan lembaga legislatif daerah tanpa pemilu. Jika kepala daerah dapat diisi dengan penjabat (Pj) berdasarkan keputusan presiden, maka DPRD tidak memiliki mekanisme yang sama.
“Apakah kita mau tunjuk Pj DPRD juga? Ini tidak masuk akal dalam sistem ketatanegaraan kita,” ucapnya.
Masukan Akademisi: Revisi UU Wajib Segera
Senada dengan Yusril, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Prof. Muchamad Ali Safa’at, menilai perpanjangan masa jabatan anggota DPRD harus diatur secara eksplisit dalam revisi Undang-Undang Pemilu dan UU Pemerintahan Daerah. Tanpa revisi, kebijakan itu bisa dianggap inkonstitusional.
“Putusan MK itu memang bersifat final dan mengikat, tapi teknis pelaksanaannya tetap harus diatur lewat undang-undang. Kalau tidak, bisa menimbulkan kekacauan dalam legitimasi jabatan publik,” katanya dalam pernyataan terpisah.
Menurut Prof. Ali, waktu untuk melakukan revisi cukup sempit. Idealnya, pembahasan sudah dimulai paling lambat tahun 2026 agar penyelenggara pemilu dapat menyesuaikan sistem dan jadwalnya sejak dini.