RUNTUHNYA ETIKA MORAL KEKUASAAN

Oleh: Jamhuri-Direktur Eksekutive LSM Sembilan

TerkiniJambi

Paradigma dan dinamika penyelenggaraan kekuasaan saat ini terkesan sangat identik sekali dengan ungkapan atau pandangan yang dikemukakan oleh Aristoteles tentang hukum yang sungguh sangat menakjubkan, dimana baginya yang paling tinggi kedaulatannya adalah hukum, bukan penguasa dengan segala instrumen kekuasaan, kearifan, dan ketinggian pengetahuan sang penguasa.

Bagi Aristoteles, yang menjadi sumber dari segala kekuasaan adalah hukum. Untuk itu, hukum harus berwibawa, mampu mengontrol kekuasaan penguasa, menjaga moralitas, menciptakan peradaban, dan mencegah penguasa untuk bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya. Intinya, hukum harus menjadi panglima; supremasi hukum berada di atas segala kuasa manusia karena hukumlah yang menjadi sumber kekuasaan yang dipegang oleh manusia.

Karena bagi Aristoteles, secerdas apa pun manusia, nafsu kebinatangannya tetap memberi peluang untuk mengubah penguasa itu menjadi binatang buas. Dengan keinginan dan nafsu yang dimiliki manusia, searif apa pun orangnya, akan mengubah dirinya menjadi lebih rendah atau hina daripada binatang buas yang paling rendah, yang dikutuk oleh semua makhluk Tuhan di muka bumi ini.

Dengan menggunakan gaya bahasa sarkasme, Aristoteles mengemukakan pandangan terhadap kekuasaan manusia yang melebihi perilaku binatang buas dan/atau setidak-tidaknya mirip dengan gaya pemikiran Fir’aun yang menganggap setiap orang beserta kroni-kroninya yang tidak mendukung dirinya wajib untuk dibunuh ataupun dirampas hak hukumnya sebagai sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Pandangan ekstrem Aristoteles yang dimaksud, sebagaimana dikutip oleh J.H. Rapar (2002:193), adalah dengan ungkapan tegas bahwa barang siapa yang memberikan tempat kepada manusia untuk memerintah, berarti ia memberi kesempatan kepada binatang buas. Karena menurutnya, sebijaksana apa pun manusia, ia tetap memiliki keinginan dan nafsu yang akan merubah seorang manusia yang paling arif bijaksana menjadi makhluk yang paling hina dan rendah.

Intinya, bagi Aristoteles, hukum harus menjadi panglima. Supremasi hukum berada di atas segala kuasa manusia karena hukumlah yang menjadi sumber kekuasaan yang dipegang oleh manusia. Dengan analogi hukum sebagai penjaga utama dan terutama agar tidak sampai terjadi keruntuhan nilai-nilai luhur etika moral kekuasaan.

Nomor TDPSE : 023714.1/DJAI.PSE/05/2025