Trump bahkan mengisyaratkan bahwa status kewarganegaraan O’Donnell bisa dicabut, meskipun tidak ada dasar hukum yang memungkinkan Presiden mencabut kewarganegaraan seorang warga negara kelahiran AS secara sepihak.
Kritik Publik dan Respon Hukum
Pernyataan Trump tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari mantan pembawa acara The View, Ana Navarro, yang menyebut retorika Presiden sebagai “gaya pemerintahan otoriter”.
“Ini Amerika Serikat, bukan negara diktator. Tidak ada presiden yang bisa menentukan siapa yang pantas jadi warga negara,” ujar Navarro dalam wawancara dengan stasiun TV nasional.
Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Yale, Prof. Lauren Michaels, menjelaskan bahwa kewarganegaraan di Amerika Serikat hanya bisa dicabut melalui proses hukum di pengadilan federal dan bukan atas perintah eksekutif.
“Presiden tidak memiliki kewenangan absolut dalam hal ini. Setiap warga negara, baik kelahiran maupun naturalisasi, memiliki perlindungan konstitusional yang setara,” tegasnya.
Retorika Politik dan Strategi Polarisasi
Banyak pengamat politik menilai langkah Trump sebagai bagian dari strategi kampanye untuk memperkuat dukungan dari basis nasionalis-konservatifnya menjelang pemilihan umum mendatang. Dengan menarget tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan secara ideologis, Trump dinilai sedang menggiring isu kewarganegaraan sebagai senjata politik.
Namun pendekatan ini juga dinilai berbahaya karena berpotensi mengancam nilai-nilai inklusivitas dan keberagaman yang menjadi fondasi Amerika Serikat.
Penutup
Tindakan Presiden Donald Trump yang mempertanyakan status kewarganegaraan Elon Musk, Zohran Mamdani, dan Rosie O’Donnell bukan hanya menyulut kontroversi politik, tetapi juga menimbulkan perdebatan serius soal batas kekuasaan presiden dan perlindungan hak sipil. Seiring memanasnya suhu politik menjelang Pilpres 2024, publik Amerika dan komunitas internasional terus menyoroti ke mana arah demokrasi negeri adidaya ini akan dibawa oleh kepemimpinan Trump.