Washington DC, — Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump kembali menuai polemik usai menyampaikan ancaman kontroversial terhadap dua tokoh publik naturalisasi: CEO Tesla Elon Musk dan legislator negara bagian New York, Zohran Mamdani. Trump menyatakan bahwa pihaknya tengah “meninjau kemungkinan pencabutan kewarganegaraan” terhadap keduanya, dengan alasan ketidaksetiaan terhadap Amerika dan dukungan terhadap kebijakan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan nasional.
Dalam pernyataannya, Trump menyinggung latar belakang kewarganegaraan Musk yang berasal dari Afrika Selatan. “Jika dia tidak mendukung kebijakan Amerika, dia bisa kembali saja ke sana,” ujar Trump dalam kampanye di Florida. Terhadap Mamdani, Trump bahkan menyebutnya sebagai “komunis” dan menuduh dirinya menyokong agenda yang menghambat operasi imigrasi nasional. “Kalau dia mencoba menghalangi ICE, kita akan tangkap dia,” tambah Trump tegas.
Pernyataan ini sejalan dengan memo Departemen Kehakiman (DOJ) bertanggal 11 Juni 2025 yang menginstruksikan jaksa federal untuk memprioritaskan kasus denaturalization, yaitu pencabutan kewarganegaraan atas dasar penipuan, afiliasi kriminal, atau dukungan terhadap organisasi terlarang. Meski begitu, langkah ini langsung menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk pakar hukum dan kelompok pembela HAM.
“Konstitusi AS sangat jelas: kewarganegaraan, termasuk hasil naturalisasi, tidak bisa dicabut hanya karena seseorang menyampaikan pendapat atau memiliki pandangan politik yang berbeda,” kata Prof. Rachel Menendez, ahli hukum konstitusi dari Georgetown University.
Mahkamah Agung AS dalam sejumlah preseden hukum, seperti Afroyim v. Rusk (1967) dan Trop v. Dulles (1958), telah menegaskan bahwa pencabutan kewarganegaraan tanpa bukti penipuan atau pelanggaran serius dalam proses naturalisasi merupakan pelanggaran terhadap Amandemen Ke-14.
Di media sosial, reaksi publik bermunculan. Tagar #HandsOffMusk dan #IStandWithZohran menjadi trending sebagai bentuk perlawanan terhadap langkah Trump yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan. Organisasi seperti ACLU menyebut tindakan ini sebagai bentuk intimidasi politik terhadap warga imigran dan upaya membungkam oposisi.