Indeks

Koperasi Merah Putih di Kelurahan: Skema Kredit Bom Waktu atau Kartel Waralaba Berkedok Rakyat?

UMKM Kelurahan: Tergusur di Tanah Sendiri

Bagi pelaku UMKM seperti Darmawati (45), pemilik toko kelontong di Sukamaju, kehadiran koperasi KMP justru menjadi beban baru. Ia menuturkan bahwa hanya warga tertentu yang diikutkan jadi anggota, sedangkan lainnya hanya bisa menonton toko koperasi tumbuh dengan fasilitas dari pemerintah.

“Kami ini yang dulu jadi tulang punggung warga. Sekarang justru dianggap saingan oleh koperasi yang didirikan lurah,” ungkap Darmawati, Kamis (11/7/2025).

Beberapa koperasi bahkan mulai menggandeng distributor besar nasional sebagai mitra grosir—ironis karena hal ini justru menambah dominasi pemain besar di bawah nama koperasi lokal.

Dimana Pengawasan dan Regulasi?

Saat ini, belum ada regulasi teknis yang mengatur secara rinci bagaimana pengelolaan keuangan KMP, audit eksternal koperasi, maupun kontrol warga terhadap pengurus koperasi. Menurut Huda Malik, S.H., M.H., dosen hukum bisnis, tanpa regulasi ketat, KMP berpotensi jadi kendaraan politik dan ekonomi elite lokal.

“Bayangkan koperasi di kelurahan dikelola oleh orang dekat camat, diberi akses kredit, suplai grosir, dan dukungan dana publik. Ini bukan koperasi, ini perusahaan terselubung,” ujarnya.

Kesimpulan: Rakyat Hanya Simbol?

Di atas kertas, KMP Kelurahan tampak menjanjikan: koperasi, waralaba rakyat, kredit mikro. Namun di lapangan, yang terjadi bisa sebaliknya: akumulasi modal oleh segelintir orang, penggunaan dana negara tanpa kontrol, dan pemiskinan pelaku usaha kecil di lingkungan sendiri.

Sebelum skema ini diperluas, pemerintah harus membuka data koperasi secara transparan, melibatkan audit independen, serta menjamin partisipasi masyarakat dalam seluruh proses. Jika tidak, rakyat hanya akan jadi nama pelindung dari proyek ekonomi elite dengan bendera merah putih di atasnya.

(Tim Investigasi Khusus | terkinijambi.com)

Nomor TDPSE : 023714.1/DJAI.PSE/05/2025

Exit mobile version