Kesepakatan Transfer Data dengan AS Tuai Polemik, Pemerintah Dinilai Korbankan Privasi Warga Demi Diskon Tarif Trump

TerkiniJambi

Tarif dagang AS untuk produk Indonesia ditekan ke angka 19 persen, namun publik menyoroti kompromi yang melibatkan data pribadi warga negara


Jakarta,– Pemerintah Indonesia resmi menyepakati kerja sama dagang dengan Amerika Serikat yang mencakup penurunan tarif resiprokal menjadi 19 persen. Namun di balik keberhasilan diplomatik tersebut, gelombang kritik publik justru menguat terkait pengorbanan aspek privasi dalam bentuk pembukaan akses terhadap data pribadi warga Indonesia.


Kesepakatan ini merupakan bagian dari kebijakan tarif global yang digulirkan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang mematok tarif dasar 10% hingga maksimal 50% untuk negara-negara mitra yang dianggap belum memenuhi prinsip “reciprocal trade”. Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil melakukan negosiasi untuk menekan tarif itu, namun dengan konsekuensi tertentu.

Privasi Dipertaruhkan demi Keringanan Tarif

Berdasarkan dokumen yang dikutip dari Tempo dan sejumlah sumber internasional, Indonesia disebut menyetujui kerja sama transfer data digital lintas negara sebagai bagian dari paket negosiasi dagang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa data pribadi masyarakat Indonesia akan diekspor dan diolah oleh lembaga asing tanpa pengawasan ketat.

“Kita punya UU Perlindungan Data Pribadi. Tetapi, pertanyaannya bukan hanya soal regulasi, melainkan bagaimana kita menjaga kedaulatan data jika kontrolnya sudah di luar negeri,” kata Direktur Eksekutif Digital Freedom Watch, Irwan Pranoto, dalam diskusi daring pada Minggu (27/7).

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dalam kesepakatan tersebut. “Kami memastikan perlindungan data tetap sesuai UU PDP. Kesepakatan ini hanya membuka peluang kerja sama pengolahan data secara aman,” ujar Menteri Meutya Hafid, merespons keresahan publik.

Tarif Trump dalam Sengketa Hukum

Menariknya, tarif dagang yang menjadi pemicu kontroversi ini sendiri sedang diproses secara hukum di pengadilan federal AS. Pada 28 Mei 2025 lalu, United States Court of International Trade menyatakan bahwa kebijakan tarif “Liberation Day” yang diberlakukan oleh Trump melebihi kewenangan presiden. Meski demikian, putusan tersebut belum berlaku karena telah diajukan banding dan mendapat penundaan dari pengadilan tinggi federal.

Nomor TDPSE : 023714.1/DJAI.PSE/05/2025