Jakarta, – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, resmi dituntut 7 tahun penjara oleh Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (3/7/2025). Ia dituduh merintangi penyidikan dan terlibat dalam pengurusan suap pergantian antarwaktu (PAW) mantan caleg PDIP Harun Masiku.
Jaksa menyatakan Hasto terbukti memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menyembunyikan barang bukti dan berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menghalangi proses hukum.
“Tuntutan ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi soal integritas pejabat politik yang seharusnya menjadi panutan,” tegas jaksa KPK dalam persidangan.
“Sudah Saya Perkirakan Sejak Awal”
Menanggapi tuntutan tersebut, Hasto menyampaikan pernyataan yang membakar semangat politikus dan simpatisan PDIP.
“Apa yang terjadi hari ini sudah saya perkirakan sejak awal. Ketika hukum dijadikan alat kekuasaan, maka kebenaran akan terus ditindas,” ujarnya lantang di depan ruang sidang.
Tak hanya itu, Hasto bahkan sempat mengepalkan tangan tinggi-tinggi sambil berteriak “Merdeka!”—simbol perlawanan yang langsung viral dan menjadi bahan perbincangan nasional. Ia juga menyatakan akan menyampaikan pleidoi atau nota pembelaan pada 10 Juli 2025 mendatang.
Kuasa Hukum: Politisasi Hukum Semakin Brutal
Tim kuasa hukum Hasto, yang dikomandoi oleh Patra M Zen dan Ronny Talapessy, menyebut tuduhan terhadap kliennya tidak didukung bukti hukum yang kuat.
“Tidak ada saksi yang melihat langsung. Tidak ada komunikasi yang membuktikan perintah langsung. Ini jelas pembunuhan karakter melalui jalur hukum,” tegas Patra.
Menurut mereka, apa yang dialami Hasto adalah balas dendam politik berkedok penegakan hukum. Mereka menganggap KPK sedang dijadikan alat untuk menggembosi lawan politik tertentu menjelang tahun-tahun krusial pasca-pemilu.
Hukum atau Alat Kekuasaan?
Kasus ini menjadi cerminan nyata tarik-menarik antara hukum dan kekuasaan di Indonesia. Publik kini bertanya-tanya: apakah KPK sedang menegakkan hukum secara netral? Atau justru sedang mempraktikkan selective enforcement yang mengarah pada kriminalisasi politik?