Efisiensi Diumumkan, Tapi Defisit Malah Bengkak: DPR Soroti Kinerja Sri Mulyani

TerkiniJambi

JAKARTA – Pemerintah pusat mengklaim telah menerapkan efisiensi anggaran tahun 2025 sebesar Rp306,7 triliun melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Namun fakta di lapangan menunjukkan, defisit anggaran justru membengkak dari target awal Rp616,2 triliun (2,53% PDB) menjadi Rp662 triliun (2,78% PDB). Kondisi ini memicu sorotan tajam dari DPR RI yang menilai efisiensi hanya jargon tanpa dampak nyata terhadap keuangan negara.

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Dolfie Othniel Frederic Palit, mempertanyakan efektivitas efisiensi yang dijalankan Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Sri Mulyani. Menurutnya, efisiensi seharusnya memperkecil defisit, bukan justru membuka celah pelebaran utang negara.

“Kami kecewa. Jika betul ada efisiensi Rp306 triliun, mengapa utang justru bertambah dan defisit makin melebar?” ujar Dolfie saat rapat dengan Kementerian Keuangan di Senayan, Selasa (2/7/2025).

Data internal pemerintah menyebutkan bahwa dari target efisiensi Rp306,7 triliun, realisasi yang benar-benar tercapai hanya sekitar Rp93,8 triliun. Bahkan, pemerintah membuka kembali blokir anggaran sebesar Rp134,9 triliun untuk mendanai program prioritas Presiden, termasuk program Makan Bergizi Gratis, peningkatan SDM pendidikan, serta ketahanan pangan nasional.

Pendapatan Negara Melemah, Pembatalan PPN Jadi Biang Kerok?

Dalam klarifikasinya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan pelebaran defisit bukan sepenuhnya karena pemborosan, melainkan karena anjloknya pendapatan negara. Faktor utamanya adalah pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% dan penurunan harga komoditas ekspor unggulan.

“Penerimaan negara berkurang drastis sekitar Rp150 triliun akibat PPN dibatalkan. Belum lagi restitusi pajak meningkat, serta dividen BUMN yang tertunda masuk,” terang Sri Mulyani.

Ia menegaskan, meskipun ada pelebaran defisit, pembukaan blokir anggaran dilakukan secara sah berdasarkan notulensi rapat terbatas bersama Presiden. Kebijakan itu, menurut Menkeu, tidak melanggar Undang-Undang APBN karena tertuang dalam poin Pasal 20 ayat (1) huruf h.

Nomor TDPSE : 023714.1/DJAI.PSE/05/2025