TerkiniJambi.com | Internasional – Pemerintah di Jalur Gaza menggegerkan publik dunia setelah mengumumkan temuan pil narkotika jenis Oxycodone dalam paket bantuan tepung yang dikirim oleh Amerika Serikat dan Israel. Temuan ini menimbulkan kemarahan besar di tengah krisis kemanusiaan yang kian parah akibat blokade dan agresi militer berkepanjangan.
Otoritas lokal menyebut, sejumlah warga yang menerima bantuan dari pusat distribusi melaporkan bau dan tekstur aneh pada tepung. Setelah ditelusuri, petugas menemukan butiran pil narkotika tersembunyi dan bahkan sebagian sudah tercampur langsung dengan tepung tersebut.
“Kami menemukan zat opioid keras dalam jumlah besar, yang jika dikonsumsi, dapat menyebabkan kecanduan bahkan kematian. Ini bukan sekadar kelalaian, tapi bentuk serangan biologis terhadap masyarakat sipil,” tegas juru bicara Media Office Gaza seperti dikutip dari Anadolu Agency, Sabtu (29/6/2025).
Pemerintah Gaza langsung menuding Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab. Mereka menyebut ini bagian dari strategi jangka panjang untuk menghancurkan masyarakat Palestina dari dalam melalui kecanduan massal.
Sementara itu, laporan dari Doctors Without Borders dan PBB sebelumnya sudah memperingatkan bahwa skema bantuan pangan yang dikendalikan AS dan Israel di Gaza berisiko tinggi, bahkan menimbulkan korban jiwa. Sejak akhir Mei lalu, lebih dari 500 orang dilaporkan tewas akibat kekacauan di titik distribusi.
“Yang kami temukan bukan hanya pil yang diselundupkan, tapi zat aktif opioid yang sudah menyatu dalam tepung. Ini mengubah bantuan pangan menjadi senjata kimia,” ungkap Omar Hamad, seorang apoteker Gaza dalam laporan Middle East Monitor.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari otoritas Amerika Serikat maupun Israel atas tuduhan serius tersebut. Pihak PBB dan WHO pun belum mengeluarkan pernyataan atau hasil verifikasi laboratorium independen terkait kandungan tepung yang tercemar.
Kontroversi Skema Bantuan AS–Israel
Sejak awal, program bantuan pangan untuk Gaza yang dimotori AS dan Israel sudah menuai kritik dari berbagai lembaga kemanusiaan. Akses yang terbatas, distribusi yang militeristik, dan kekerasan di lapangan menjadikan bantuan ini lebih menyerupai jebakan ketimbang solusi.