SENGETI,– Aktivitas penjarahan benda-benda antik dan peninggalan sejarah di aliran Sungai Batanghari, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, kembali disorot. Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Muaro Jambi, Sartono, BE menuding Aparat Penegak Hukum (APH) gagal menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan secara tegas.
“Penegakan hukum kita saya bilang sangat lambat, apalagi ini menyangkut warisan sejarah,” tegas Sartono dalam keterangannya, Kamis (5/6/2025).
Legislator vokal tersebut menyoroti praktik ilegal penyelaman menggunakan perahu motor rakitan tanpa izin, yang diduga telah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa penindakan berarti. Ironisnya, barang-barang kuno bernilai tinggi hasil penjarahan itu diduga telah berpindah tangan ke kolektor gelap di luar daerah.
“Ini sudah berjalan lama, bukan satu dua tahun. Tapi pelakunya tetap bebas. Sementara benda-benda yang dijarah itu punya nilai sejarah dan budaya tinggi,” ujarnya.
Sartono juga menyebut praktik ini tak hanya merusak situs sejarah dan lingkungan, tapi juga mengancam infrastruktur penting. Ia khawatir aktivitas tersebut berdampak pada struktur jembatan penghubung Kecamatan Kumpeh dan Kecamatan Berbak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
“Kalau fondasi jembatan terganggu karena penggalian liar, dan jembatan itu runtuh, pemerintah harus keluarkan miliaran lagi untuk membangun. Padahal kita sama-sama tahu, anggaran daerah sangat terbatas,” jelasnya.
Ia pun mendesak aparat untuk menjerat para pelaku dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, khususnya Pasal 105 dan 106 yang mengatur pidana penjarahan situs bersejarah, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp5 miliar.
Meski demikian, publik mendesak langkah konkret dari aparat. Sejumlah tokoh masyarakat dan penggiat sejarah di Muaro Jambi menyayangkan lambannya respons aparat, padahal situs Sungai Batanghari memiliki keterkaitan erat dengan kompleks percandian Muaro Jambi yang telah diusulkan sebagai Warisan Dunia UNESCO.