Jakarta, — 15 September 2025 – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi telah menerima pengembalian dana yang berasal dari praktik jual‑beli kuota haji. Nama besar terlibat—ustaz kondang, biro perjalanan, dan pihak yang mengatasnamakan “kuota VIP”—menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Siapa yang harus diusut tuntas? Siapa yang sekadar jadi kuda tunggangan skema ini?
Menurut keterangan publik, dana yang dikembalikan berasal dari penjualan kuota tambahan haji. Pihak yang diduga memperjualbelikan kuota meminta biaya puluhan juta hingga ratusan juta per jemaah dengan janji fasilitas lebih baik. Ketika kenyataan tidak sesuai janji, sejumlah dana akhirnya dikembalikan ke KPK sebagai bagian dari proses penyelidikan.
Kronologi Perkara
- Awal: Penawaran kuota melalui jalur yang disebut “khusus” atau tambahan kepada kelompok jemaah tertentu.
- Transaksi: Ada pengakuan pungutan—dalam hitung‑hitungan internal disebutkan angka USD yang dikalikan jumlah jemaah plus pos tambahan.
- Pelaksanaan: Fasilitas yang dijanjikan tidak terpenuhi; maktab berpindah, tenda dan layanan tidak sesuai klaim.
- Penyelidikan: KPK menemukan aliran dana dan menerima pengembalian sejumlah uang dari pihak terkait.
“Ada pengembalian uang benar. Namun jumlahnya nanti kami akan update ya berapa,” — Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
“Benar, (Khalid Basalamah mengembalikan uang).” — Ketua KPK, Setyo Budiyanto.
“Teman‑teman KPK sudah saya sampaikan semua ini. Mereka bilang, ‘Ustaz, yang ini 4.500 kali sekian jemaah kembalikan ke negara, Ustaz.’ Oke. Yang 37 ribu juga dikembalikan ke negara,” — Khalid Basalamah (pernyataan publik pada rekaman podcast dan wawancara).
Analisis Hukum
Kita dihadapkan pada dua isu hukum yang tajam: pertama, adanya dugaan pemerasan atau penetapan tarif di luar mekanisme resmi penyelenggaraan haji; kedua, keterlibatan pihak yang memiliki pengaruh publik menjadikan praktik ini rentan sebagai skema pemanfaatan nama besar untuk menutupi aliran dana.
Secara hukum, bila terbukti ada unsur memperkaya diri sendiri atau pihak lain melalui pemanfaatan kuota yang seharusnya diatur negara, bisa masuk ranah tindak pidana korupsi dan/atau pemufakatan jahat melawan penyelenggaraan ibadah negara. Pengembalian dana, meski penting, bukan akhir dari perkara—ia kerap jadi alat mitigasi sementara, bukan penghapus tanggung jawab pidana.