JAMBI – TERKINI JAMBI: Polemik kredibilitas Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jambi kian tajam disorot publik. Setelah skandal Surat Keterangan Palsu terhadap 13 ASN yang belum memiliki kepastian hukum, kini instansi tersebut kembali diterpa isu serius terkait dugaan praktik menyimpang dalam seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi.
Sejumlah pihak menilai, BKD kini berubah fungsi menjadi “barisan kepentingan diri” dan bukan lagi lembaga pembina ASN yang menjunjung prinsip meritokrasi. Proses seleksi jabatan diduga menjadi ajang kepentingan politik dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum birokrasi tertentu.
“AUPB Sudah Tak Ada Gunanya di Rezim Otak Udang”
Direktur Eksekutif LSM Sembilan Jambi, Jamhuri, melontarkan kritik keras terhadap situasi ini. Ia menilai bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) seolah tak lagi dihormati oleh penguasa saat ini.
“Sepertinya Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan sakralnya sumpah jabatan tidak ada gunanya pada rezim kekuasaan penguasa otak udang,” tegas Jamhuri kepada terkinijambi.com, Sabtu malam (12/10/2025).
Lebih jauh, ia menyebut bahwa kekuasaan di lingkungan pemerintahan daerah kini mulai bergerak menjauh dari amanat konstitusi dan prinsip hukum tata pemerintahan.
“Kekuasaan penguasa terkesan menginginkan perubahan pada amanat konstitusional Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu pemerintahan berdasarkan keinginan birahi kekuasaan,” ujar Jamhuri menegaskan.
Latar Belakang Hukum: Makna Pasal 52 UU 30/2014
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menegaskan bahwa setiap penyelenggara pemerintahan wajib melaksanakan tugas dan kewenangannya berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). AUPB mencakup prinsip seperti kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, ketepatan waktu, motivasi keputusan, dan keterbukaan.
Dengan demikian, setiap keputusan atau tindakan pejabat publik yang tidak mengindahkan AUPB — misalnya dalam hal pemalsuan dokumen, penempatan jabatan yang tidak objektif, atau intervensi politik dalam seleksi aparatur — dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi bahkan tindak pidana penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 jo. Pasal 80 undang-undang yang sama.