Jakarta – Gelombang kritik terhadap kabinet kian deras. Publik menilai jajaran menteri di pemerintahan saat ini lebih sibuk melontarkan jargon ketimbang menghadirkan terobosan nyata. Akibatnya, rakyat merasa hanya dijadikan taruhan dalam permainan politik tingkat tinggi.
Sejumlah pengamat menyoroti kualitas diplomasi yang melemah. Seorang menteri disebut tak mampu berbahasa Inggris dengan lancar, padahal forum internasional menuntut kemampuan berargumentasi, bukan sekadar senyum atau anggukan. ”
Kalau diplomasi hanya formalitas, negara bisa kehilangan peluang besar,” sindir seorang analis hubungan internasional.
Kebijakan pangan pun ikut jadi bahan hujatan. Data pemerintah kerap berbeda jauh dengan realita di lapangan. Saat harga beras melonjak, justru diumumkan surplus. Jagung disebut berlimpah, tapi petani mengeluh gudang kosong. Kondisi ini memperlihatkan jurang antara laporan resmi dan kenyataan yang dihadapi rakyat.
Di sektor perdagangan, ironi serupa terlihat. Harga hasil panen jatuh di tingkat petani, namun konsumen membeli dengan harga tinggi. Alih-alih memperbaiki rantai distribusi, pejabat lebih sibuk meluncurkan program dengan nama bombastis.
“Tata niaga di sini bukan soal strategi, tapi soal siapa yang kebagian untung,” ujar seorang ekonom.
Sementara itu, industrialisasi masih berjalan lamban. Negara lain sudah fokus membangun pabrik teknologi tinggi, Indonesia justru berkutat di soal izin kawasan industri. Banyak kebijakan yang dipandang lebih mirip acara seremonial ketimbang visi jangka panjang.
Percikan kontroversi kian memuncak setelah beredar kabar seorang pejabat tertangkap kamera bermain kartu bersama tersangka kasus besar. Publik menilai insiden itu mencoreng etika pemerintahan, sekaligus menambah kesan kabinet sedang “berjudi” dengan masa depan bangsa.
“Kondisi sekarang seperti kabinet kartu remi: siapa dapat kartu bagus bisa beruntung, siapa kebagian kartu buruk dibiarkan saja. Sayangnya, rakyat yang selalu jadi taruhannya,” kata pengamat politik Erizeli Jely Bandaro.