“Kalau sudah diberi hak tapi dibiarkan kosong, itu melanggar prinsip fungsi sosial tanah. Negara harus hadir agar tidak jadi rebutan,” ujar Nusron. Ia menambahkan, penguasaan tanah harus bersifat produktif dan tidak sekadar spekulasi aset.
Dalam perspektif hukum agraria, kebijakan ini bukan hanya legal, tapi juga konstitusional. UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Prinsip ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), yang menekankan bahwa hak atas tanah tidak bersifat mutlak, melainkan harus dijalankan dengan memenuhi fungsi sosial.
Dengan demikian, langkah pemerintah untuk mengambil kembali tanah yang tidak digunakan secara optimal selama dua tahun telah memiliki dasar hukum yang jelas, dan menjadi bentuk koreksi terhadap praktik penguasaan lahan yang tidak produktif.
Nusron menegaskan bahwa negara tetap memberikan kesempatan kepada pemegang hak untuk menggunakan kembali tanah tersebut, selama proses evaluasi belum mencapai tahap penetapan.
“Kalau masih ada niat untuk dimanfaatkan dan bisa dibuktikan, ya silakan. Tapi kalau sudah kita kasih peringatan berkali-kali, tetap tidak digarap, ya mohon maaf, negara ambil alih,” ujarnya.
Tanah yang telah ditetapkan sebagai terlantar akan dikelola oleh Bank Tanah, dan bisa dimanfaatkan melalui skema kerja sama business-to-business (B2B) oleh investor maupun koperasi petani dengan tetap menjunjung asas keadilan sosial.
Reporter: Redaksi | Editor: Tim @terkinijambi.com