NAIROBI — Dunia internasional kembali menyorot Kenya setelah Presiden William Ruto menginstruksikan aparat untuk “menembak di kaki” para demonstran yang dianggap anarkis. Instruksi ini memicu kemarahan berbagai organisasi hak asasi manusia yang menyebut langkah tersebut sebagai bentuk pelanggaran HAM serius dan berpotensi menciptakan budaya impunitas.
Hingga pekan kedua Juli, sedikitnya 50 orang dilaporkan tewas akibat bentrok antara aparat dan demonstran. Banyak korban adalah remaja dan mahasiswa yang tergabung dalam barisan protes pro-demokrasi.
“Kami kecewa. Presiden seharusnya melindungi warganya, bukan menjadikan mereka sasaran tembakan,” ujar perwakilan Komisi Nasional HAM Kenya (KNCHR) dalam konferensi pers darurat di Nairobi.
Lebih dari sekadar aksi represif, lembaga HAM mengungkap bukti keterlibatan kelompok kriminal bersenjata yang diduga bekerjasama dengan aparat. Mereka bertugas menyusup ke dalam aksi damai, memprovokasi kekerasan, dan kemudian digunakan sebagai alasan bagi aparat untuk melakukan tindakan keras.
Presiden Ruto, dalam pidato publik, menegaskan bahwa pendekatan ini bertujuan “melumpuhkan, bukan membunuh.” Namun pernyataan tersebut justru memperkeruh keadaan.
“Apakah Presiden memahami efek jangka panjang dari tembakan di kaki? Ini bukan sekadar luka fisik, tapi potensi cacat permanen yang tidak manusiawi,” ujar Mong’are Okong’o, pengacara HAM terkemuka di Kenya.
Sementara itu, Amnesty International Kenya dan Human Rights Watch mendesak agar komunitas internasional segera turun tangan dan mendorong investigasi independen terhadap praktik kekerasan di luar hukum yang dilakukan aparat Kenya dalam menangani unjuk rasa.