TERKINIJAMBI, –Meskipun konflik bersenjata langsung antara Iran dan Israel menunjukkan penurunan intensitas dengan dihentikannya serangan rudal secara terbuka, justru pertempuran di dunia maya kini memasuki babak baru yang lebih berbahaya dan meluas. Serangan siber antar kedua negara meningkat signifikan sejak gencatan senjata informal diumumkan pada akhir Juni 2025.
Perang Diam-Diam Lewat Dunia Digital
Sejumlah pakar keamanan internasional menyebut bahwa cyber warfare kini menjadi medan tempur utama dua musuh bebuyutan tersebut. Laporan dari lembaga intelijen siber menunjukkan bahwa lebih dari 400 serangan siber menargetkan infrastruktur vital Israel dalam dua pekan terakhir, mulai dari sistem transportasi, rumah sakit, hingga penyedia energi.
Sebaliknya, meski Israel merespons dengan jumlah serangan yang jauh lebih sedikit, namun dampak yang ditimbulkan jauh lebih presisi dan terukur, mengarah langsung ke sistem komunikasi strategis dan pusat data milik Iran.
Iran Gunakan Proksi Siber, Israel Bidik Titik Vital
Pola serangan dari Iran sebagian besar dilancarkan melalui kelompok hacktivist proksi seperti ‘Cyber Av3ngers’ dan ‘Al-Taher Group’ yang diyakini berafiliasi dengan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC). Mereka menyasar sistem publik dan menyebarkan disinformasi secara masif di media sosial.
Sementara itu, Israel lebih memilih operasi senyap. Beberapa analis menyebut keberhasilan Israel melumpuhkan sejumlah jaringan komunikasi dan sistem radar digital Iran yang sebelumnya tidak pernah terungkap ke publik.
Ancaman Meluas ke Negara Sekutu
Bukan hanya dua negara itu yang terkena dampaknya. Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah sekutu Israel juga mengonfirmasi peningkatan serangan siber terhadap perusahaan swasta dan lembaga militer mereka. Lembaga keamanan seperti FBI, NSA, dan CISA mengeluarkan peringatan bersama tentang potensi kebocoran data sensitif dan sabotase digital oleh kelompok yang berafiliasi ke Iran.
Indonesia Perlu Waspada?
Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut, para pengamat menilai bahwa lonjakan perang siber global ini dapat berdampak pada sistem digital negara berkembang yang belum siap menghadapi serangan kompleks. Terutama jika sistem vital seperti data kependudukan, kesehatan, dan perbankan belum terlindungi secara maksimal.