Kontroversi Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto: Prabowo Dinilai Lunturkan Wibawa Hukum

TerkiniJambi

Jakarta, – Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada eks Menteri Perdagangan Thomas Lembong dan amnesti kepada Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menuai reaksi tajam dari kalangan akademisi dan masyarakat sipil. Langkah ini dianggap sebagai manuver politik yang dapat melukai independensi hukum dan menciptakan preseden buruk dalam penegakan keadilan di Indonesia.

Melalui Surat Presiden Nomor R43/Pres/07/2025 dan R42/Pres/07/2025 tertanggal 30 Juli 2025, Prabowo mengusulkan penghapusan proses hukum terhadap Lembong dan pengampunan pidana terhadap Hasto. DPR pun menyetujui usulan itu hanya sehari kemudian, memperkuat spekulasi adanya kesepakatan politik di balik layar.

Abolisi dan Amnesti Jelang HUT RI, Rekonsiliasi atau Kompromi Politik?

Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyebut langkah ini sebagai “langkah rekonsiliasi nasional” dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan. Namun banyak pihak justru menilai keputusan ini sarat kepentingan kekuasaan.

“Bagaimana mungkin seseorang yang telah divonis bersalah karena gratifikasi atau suap, tiba-tiba diampuni hanya karena rekam jejak masa lalu?” ujar Dr. Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas.

Senada, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut langkah Presiden sebagai sinyal kemunduran demokrasi.

“Amnesti untuk tokoh politik yang terjerat kasus suap atau korupsi bukanlah jalan keluar, melainkan bentuk pembenaran atas politisasi hukum,” tegasnya.

Kasus Politik Dibungkus Ampunan Negara

Thomas Lembong sebelumnya divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta dalam kasus dugaan intervensi ekspor nikel. Sedangkan Hasto dihukum 3 tahun 6 bulan atas kasus suap penempatan kader di DPR. Keduanya sempat mengajukan banding namun proses hukumnya terhenti setelah diajukan abolisi dan amnesti.

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari akademisi UI, pegiat HAM, dan mantan hakim MK menyebut ini sebagai “pengkhianatan terhadap sistem hukum”.

“Kalau semua yang punya kedekatan politik dengan penguasa bisa dibebaskan, lalu buat apa ada proses hukum? Ini bisa jadi awal dari normalisasi intervensi kekuasaan atas peradilan,” kata Prof. Sulistyowati Irianto dari Fakultas Hukum UI.

Nomor TDPSE : 023714.1/DJAI.PSE/05/2025