Jerat Hukum dan Ancaman Hukuman
Berdasarkan hasil penyidikan dan klasifikasi pidana yang diterapkan, FWLS dijerat dengan sejumlah pasal berat.
Untuk perkara pencabulan anak, FWLS dikenakan:
Pasal 82 Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak,
yang mengancam pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda hingga Rp5 miliar.
Karena dilakukan oleh aparat penegak hukum, ancaman pidana diperberat.
Sedangkan untuk kasus narkotika, FWLS dijerat:
Pasal 127 Ayat (1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun bagi pengguna narkotika untuk diri sendiri.
Jika penyidik menemukan unsur kepemilikan atau peredaran, FWLS juga berpotensi dijerat:
Pasal 112 dan/atau Pasal 114 UU Narkotika,
yang memuat ancaman pidana minimal 4 hingga 20 tahun penjara, tergantung jumlah barang bukti.
Tak hanya itu, sebagai pejabat penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya, ia juga terancam:
Pasal 52 KUHP tentang pemberatan hukuman bagi pelaku yang menjabat sebagai aparat negara.
Dengan pelimpahan tahap dua ke Kejaksaan, FWLS tinggal menunggu waktu untuk duduk di kursi terdakwa. Namun publik tak sekadar menanti vonis, mereka juga menanti kejelasan sikap institusi kepolisian terhadap anggotanya.
Jika tak ada tindakan tegas, kasus FWLS bukan hanya soal moral individu, melainkan preseden buruk bagi citra kepolisian. Akankah FWLS dijatuhi hukuman maksimal, atau justru lolos dari jerat keadilan?