“Kami akan menurunkan tim teknis dari Direktorat Pengendalian Kerusakan Daerah Aliran Sungai untuk melakukan verifikasi lapangan. Jika ditemukan pelanggaran terhadap dokumen Amdal, tentu akan ada tindakan tegas,” kata Hanif.
Ia menambahkan, seluruh proyek infrastruktur berskala besar wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian lingkungan. “Tidak ada pembangunan yang mengorbankan kelestarian alam,” tegasnya.
Beberapa tokoh adat dan pegiat lingkungan dari Muara Langkap dan Lempur menilai keterlibatan masyarakat dalam proses awal pembangunan minim. Mereka juga menyesalkan tidak adanya konsultasi publik yang memadai mengenai dampak proyek terhadap wilayah hutan adat dan aliran sungai.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) WALHI Jambi dalam keterangannya meminta pemerintah pusat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proyek PLTA yang menempati kawasan hutan lindung dan berpotensi mengubah lanskap ekologis di kawasan Kerinci.
Proyek PLTA Kerinci dengan kapasitas 350 MW sejatinya diharapkan menjadi tumpuan pasokan listrik hijau di Pulau Sumatera. Namun, keluhan masyarakat, tudingan kerusakan lingkungan, dan respons terbatas dari otoritas memperlihatkan bahwa pembangunan energi hijau pun tidak lepas dari persoalan keberlanjutan, akuntabilitas, dan keadilan sosial.
Pemerintah diharapkan segera menengahi dengan pendekatan partisipatif dan transparan agar tidak menimbulkan konflik lebih luas di tengah masyarakat yang terdampak.