Perbuatan menjadikan HGB dimaksud sebagai agunan atau dibebani dengan hak tanggungan dilakukan guna memperkaya diri sendiri yang dilakukan dengan cara menjadikan Surat atau Barang Berharga Milik Negara sebagai agunan kredit yang seolah-olah dipergunakan untuk dan atas nama serta demi kepentingan pemenuhan hajat hidup orang atau masyarakat banyak dan serta untuk kepentingan pembangunan demi tercapainya tujuan negara.
Berdasarkan fakta administrasi yang tertulis sebagaimana pada Surat Persetujuan Walikota dan Adendum I dimaksud beserta dengan fakta pendukung lainnya seperti Hak Guna Bangunan (HGB), Perjanjian Kerjasama awal (pra adendum), serta kondisi physik lahan dan bangunan gedung baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan atau memiliki hubungan hukum yang amat sangat erat dengan kedua fakta hukum tersebut.
Dimana baik sebagian maupun secara keseluruhan isi daripada dokumen ataupun fakta hukum dimaksud patut diduga kuat untuk diyakini menunjukan bahwa semua fakta hukum tersebut adalah merupakan sekumpulan barang ataupun benda yang dapat digunakan untuk melakukan proses pembuktian terhadap dugaan adanya sesuatu tindakan ataupun perbuatan yang bertentangan dengan atau mengabaikan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Di sisi lain, berdasarkan ketentuan pada Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang mengatur bahwa Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Guna Bangunan (HGB).
HGB yang dijadikan agunan lazimnya akan diberikan Sertifikat Hak Tanggunan yang diawali dengan penerbitan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang merupakan akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutang yang dimiliki.
Dengan kewajiban mencantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut hal-hal tentang sebagaimana ketentuan Pasal 11 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tangungan dimaksud yang mengatur dengan amanat: “janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;