Panggung penegakan hukum oleh pihak Kejaksaan Negeri Jambi akhir-akhir ini menyuguhkan pertunjukan proses pengukuran kwalitas kadar pemahaman ataupun penghayatan terhadap Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) serta ukuran kesadaran terhadap paham yang dianut oleh negara, yaitu negara hukum (rechtstaat).
Dengan melakukan pengukuran terhadap nilai dan kwalitas seorang Sekretaris Daerah (Sekda), sejumlah Pejabat Daerah dan beberapa Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berprofesi sebagai pencari rezeki di lingkungan Sekretariat Pemerintahan Daerah Kota Jambi yang dianggap berkompeten dan/atau mengetahui serta terlibat secara langsung pada kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan Barang Milik Daerah tersebut yang secara yuridis adalah Barang Milik Negara.
Sekaligus pengukuran terhadap kwalitas kesadaran hukum atas Sumpah Jabatan yang dengan begitu akan mengikis habis keinginan untuk memenuhi gaya hidup yang dilakukan dengan cara melakukan perbuatan melawan hukum, berupa tindakan ataupun perbuatan menyalahgunakan wewenang dan jabatan, memperkaya diri sendiri sendiri dan/atau orang lain ataupun suatu Korporasi.
Dengan kata lain pihak Kejaksaan Negeri Kota Jambi menjadikan Jambi City Centre (JCC) sebagai cerminan ataupun baro meter untuk mengetahui sejauh mana pihak-pihak yang telah dan akan ditampilkan di atas panggung proses penegakan hukum tersebut memiliki i’tikad baik terhadap kedaulatan negara dengan tidak melakukan Tindak Pidana Korupsi.
Sepertinya salah satu indikator penting pengukuran kwalitas tersebut yaitu dengan menjadikan beberapa amanat konstitusional sebagai tolak ukur, seperti Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), serta yang paling spesifik dalam konteks persoalan JCC yang ditenggarai sebagai mesin industri Koruptor tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah.
Merujuk pada azaz fiksi hukum (legal fiction) yang menolak alasan ketidaktahuan akan hukum dijadikan sebagai suatu alasan pemaaf untuk suatu pelanggaran hukum (ignorantia jurist non excusat), atau suatu azaz yang berfungsi untuk memberikan kepastian dan/atau menjaga fungsi hukum sebagai pedoman utama berprilaku serta berguna menuntut tanggungjawab hukum atas tindakannya, terlepas dari kadar pengetahuan yang bersangkutan terhadap hukum.