Sepertinya perubahan agenda (jadwal dan sebutan) gerakan manusiawi tersebut merupakan suatu potret buram tentang peragaan busana pada sebuah catwalk (tempat berjalan) dengan bentuk penampilan Legislative dan Yudikative telah menjadi gadis cantik (Pretty Girl) yang sedang berbagi peran melayani nafsu bejat Eksekutive yang sedang mencapai puncak libido dari birahi kekuasaan yang menggebu-gebu didalam istana kekuasaan.
Suatu bentuk keintiman Threesome yang dipahami sebagai “interaksi seksual antara tiga orang di mana sekurang-kurangnya seorang terlibat dalam tingkah laku seksual secara fizikal dengan kedua-dua individu lain, ” yang teramat sangat sensual (kenikmatan yg bersifat naluri).
Jika pesta demokrasi diyakini sebagai suatu ungkapan kebebasan menentukan pilihan maka perlu diingat ungkapan Jean-Paul Sartre, sosok seorang filsuf eksistensialisme yang terkemuka, yang menyatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas.
Dalam pandangannya kebebasan, adalah kemampuan untuk membuat pilihan, bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Namun gerakan massa tersebut menunjukan kebebasan itu terasa menjadi telah menjadi paradoks yang penuh retorika. Apakah kita benar-benar bebas jika kotak suara hanya menjadi formalitas untuk menyetujui satu pilihan yang sudah ditentukan?
Mengutip ungkapan Sartre mungkin akan menggambarkan situasi ini sebagai absurd (mustahil) sebuah keberadaan tanpa makna, di mana tindakan memilih telah kehilangan esensi sejatinya, sesungguhnya gerakan demokratis yang akan dilaksanakan tenaga honorer tersebut secara tidak langsung mengingatkan atau mengajarkan bahwa demokrasi bukanlah hanya tentang prosedur, akan tetapi tentang memberi ruang bagi keberagaman pilihan dan kebebasan.
Seperti yang diungkap oleh Sartre, kita harus menerima kebebasan kita, bahkan ketika itu sulit. Namun, kebebasan itu membutuhkan ruang untuk bernapas, dan ruang itu adalah keberadaan pilihan. Serta tidak sekedar pemenuhan tuntutan Politis akan tetapi tentang diri pribadi sebagai seorang manusia, apakah telah puas dengan suka rela membelenggu diri pada selembar benang Absurditas serta menghalalkan Hipokrit sebagai asap suci dupa-dupa spiritual kesesatan kuasaan?.