TerkiniJambi.com, SUMBAR – Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Sumatera Barat bersama perwakilan tokoh adat di Nagari Lubuk Aluang, dan Eksekutif Nasional Walhi melaporkan aktivitas tambang ilegal yang dilindungi pejabat kepolisian. Lebih dari itu, aktivitas yang sama juga malah digunakan untuk menyuplai material ke Proyek Strategis Nasional atau PSN di wilayah itu.
Laporan ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini berangkat dari kasus polisi tembak polisi yang terjadi di Kabupaten Solok Selatan serta aktivitas pertambangan pasir dan batu ilegal yang masif dan sistematis menggunakan alat berat di Nagari Lubuk Aluang dan Balah Hilia, Kabupaten Padang Pariaman. Pengaduan dengan datang langsung ke kantor Kompolnas di Jakarta Selatan pada Rabu, 18 Desember 2024, itu diterima oleh anggota Kompolnas, Arief Wicaksono Sudiutomo dan Yusuf.
Kepada keduanya disampaikan beberapa temuan terkait kasus deking tambang ilegal oleh petugas kepolisian dari kasus polisi tembak polisi di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. “Kejahatan peti (pertambangan tanpa izin) telah meruntuhkan wibawa negara di hadapan sindikat pelaku kejahatan lingkungan,” kata Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumatera Barat, Tommy Adam, melalui keterangan tertulis, Jumat 20 Desember 2024.
Ajun Komisaris Dadang Iskandar, pada 26 November 2024. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Kapolres Solok Selatan menerima aliran dana dari aktivitas pertambangan ilegal di Kabupaten Solok Selatan sebesar Rp 600 juta per bulan sejak menjabat.
Dengan keterangan tersebut, kata Tommy, diduga kuat setidaknya Kapolres Solok Selatan total telah menerima aliran dana dari pertambangan ilegal sebesar Rp 16,2 miliar selama 27 bulan menjabat. “Sumber dana tersebut berasal dari setoran penggunaan 20 unit alat berat, yang satu alat berat menyetor Rp 25 juta, dan setoran peti yang tidak menggunakan alat berat,” kata dia.
Penerimaan setoran seperti itu yang diduga membuat pertambangan tanpa izin, utamanya tambang galian C (pasir dan batu) dan emas, bisa sangat masif terjadi di Sumatera Barat.
Padahal, Tommy menyatakan, pertambangan ilegal tersebut tidak hanya menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan, tetapi telah menimbulkan korban jiwa. Sepanjang 2012-2024, Walhi mencatat, sebanyak 40 orang penambang liar tewas karena tertimbun material tanah pertambangan.
Ditekankannya pula, “Praktik pertambangan ilegal menyebabkan kerugian pada perekonomian negara lewat bencana ekologis berupa banjir dan longsor yang dipicu nya.”
Bahkan, Tommy mengungkapkan, pertambangan ilegal telah terdata sangat jelas dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTRW Provinsi Sumatera Barat (2023-2043). Luasnya mencapai 7.662 hektare. Lokasinya tersebar di empat wilayah kabupaten yang menjadi hulu dari Daerah Aliran Sungai atau DAS Batanghari. Keempatnya adalah Kabupaten Dharmasraya 2.179 hektare, Kabupaten Solok 1.330 hektare, Kabupaten Solok Selatan 2.939 hektare, dan Kabupaten Sijunjung 1.174 hektare.
Menurut Tommy, luasan yang masif ini juga berkontribusi terhadap dampak kesehatan yang ditimbulkan dari penggunaan merkuri sebagai zat pemisah emas. Dia mengutip hasil kajian oleh Runi Sahara dan Dwi Puryanti dari Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas yang menyimpulkan kalau air Sungai Batanghari di Dharmasraya, di aliran Batu Bakauik, sudah tidak layak konsumsi.
Dari pengujian atomic absorption spectrometry (AAS), kandungan logam berat merkuri (Hg) maksimum 5,198 mg/L, jauh melampaui baku mutu 0,001 mg/l (berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum).
Tokoh masyarakat dari Padang Pariaman, Herik Rinal Datuak Sirajo, membenarkan kalau aktivitas tambang pasir dan batu di Nagari Lubuk Aluang telah menyebabkan kerusakan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Ditambahkannya, aktivitas pertambangan ilegal itu semakin hidup karena terhubung dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) Jalan Tol Trans Sumatera di Sumatera Barat. Menurut dia, hasil dari pertambangan ilegal itu dijadikan suplai ke pelaksana pembangunan jalan tol.
“PSN Tol juga tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi juga menyebabkan masyarakat sekitar lokasi peti menjadi korban, memicu bencana ekologis, dan telah menimbulkan kerugian perekonomian negara,” kata Herik. (**)