TerkiniJambj.com JAKARTA -Presiden Prabowo Subianto mengusulkan evaluasi sistem pemilihan kepala daerah atau pilkada menjadi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam pidatonya pada puncak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60 Partai Golkar, Kamis (12/12/2024), Prabowo menyoroti tingginya biaya sistem politik di Indonesia.
Menurut Prabowo, sistem pilkada dipilih DPRD seperti yang diterapkan oleh beberapa negara tetangga dapat mengurangi pengeluaran anggaran yang signifikan. “Menurut saya kita harus perbaiki sistem kita dan kita tidak boleh malu mengakui kemungkinan sistem ini terlalu mahal,” ujarnya
“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD ya sudah, DPRD itulah milih gubernur, bupati,” lanjutnya.
Artikel ini telah tayang dengan judul “Dulu oleh DPRD, Mengapa Kini Kepala Daerah Dipilih oleh Rakyat?”
Sebelum dipilih langsung oleh rakyat seperti saat ini, pemilihan kepala daerah di Indonesia dilakukan oleh DPRD sebagai perwakilan rakyat. Lantas, mengapa saat itu sistem tersebut diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat?
Latar belakang sistem pilkada langsung oleh rakyat
Pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung oleh rakyat dilaksanakan dengan berbagai alasan.
Artikel “Dinamika Politik Pilkada Serentak” yang diterbitkan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI 2017 pun menyebutkan sejumlah latar belakang perlunya penyelenggaraan pilkada langsung di Indonesia, antara lain:
1. Memutus rantai oligarki pimpinan partai Pertama, pilkada secara langsung diperlukan untuk memutus mata rantai oligarki pimpinan partai dalam menentukan pasangan kepala-wakil kepala daerah yang dipilih oleh DPRD.
Pemilihan oleh segelintir anggota DPRD pun dinilai cenderung oligarki karena berpotensi sekadar memperjuangkan kepentingan para elite politik belaka.
2. Meningkatkan kualitas dan partisipasi rakyat Kedua, sistem pilkada secara langsung diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan partisipasi rakyat. Dengan sistem ini, rakyat dapat menentukan dan memilih pasangan calon kepala daerah yang dianggap terbaik dalam memperjuangkan kepentingan mereka.
3. Mewadahi seleksi kepemimpinan dari bawah Alasan ketiga, pilkada langsung dinilai mewadahi proses seleksi kepemimpinan secara bottom up dan meminimalkan lahirnya kepemimpinan yang berasal dari atas atau bersifat top down. Bersifat top down maksudnya ditetapkan oleh pemimpin atas, baru kemudian disampaikan kepada anggota organisasi atau masyarakat. Sebaliknya, bottom up adalah pendekatan yang komunikasi dan arahannya sebagian besar disuarakan oleh para anggota atau masyarakat, dan disampaikan kepada pemimpin.
4. Meminimalkan transaksional politik uang Pilkada langsung diharapkan dapat meminimalkan politik uang yang umumnya terjadi secara transaksional ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD. Lantaran dianggap relatif bebas dari politik uang, pimpinan daerah hasil pilkada langsung diharapkan dapat menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.
5. Meningkatkan kualitas legitimasi
Tidak hanya itu, pilkada secara langsung juga diharapkan meningkatkan kualitas legitimasi politik eksekutif daerah. Hal tersebut pada akhirnya dapat mendorong stabilisasi politik dan efektivitas pemerintahan lokal.
Perubahan sistem pilkada di Indonesia
Sementara itu, sebelum pemilihan langsung, setidaknya ada beberapa sistem pemilihan kepala daerah yang pernah digunakan di Indonesia.
Pertama, sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pusat, yang sudah diterapkan sejak masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, penjajahan Jepang, serta setelah kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, pemerintah menggunakan sistem ini berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, dan UU Nomor 1 Tahun 1957.
Kedua, sistem pengangkatan oleh pusat yang turut digunakan pada era Dekrit Presiden. Penggunaan sistem ini didasarkan pada Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 jo Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 disertai alasan “situasi yang memaksa”.
Ketiga, sistem pemilihan legislatif yang merupakan perubahan UU Nomor 5 Tahun 1974.
Dengan sistem ini, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh lembaga DPRD. Selanjutnya, presiden akan menentukan calon kepala daerah terpilih.
Keempat, sistem pemilihan perwakilan (murni) yang didasarkan pada UU Nomor 18 Tahun 1965 dan UU Nomor 22 Tahun 1999. Melalui sistem ini, kepala daerah dipilih secara murni oleh lembaga DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat.
Pada 2004, pemerintah menerbitkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang ini memberikan perubahan yang sangat besar, yaitu kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
UU Nomor 32 Tahun 2004 pun menjadi tonggak sejarah, karena untuk pertama kalinya kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dasar hukum penyelenggaraan pilkada di Indonesia tersebut kemudian mengalami dua kali perubahan, melalui UU Nomor 8 Tahun 2005 dan UU Nomor 12 Tahun 2008. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, partai politik merupakan satu-satunya lembaga yang dapat mengajukan pasangan calon peserta pilkada.
Namun, berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2008, sumber calon kepala daerah maupun wakilnya tidak lagi hanya berasal dari partai politik, tetapi juga dari calon perseorangan.
Pilkada langsung sempat diubah menjadi dipilih DPRD
Hingga menjelang akhir jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah menerbitkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Undang-undang yang disahkan dan ditandatangani Presiden SBY pada 30 September 2014 ini memberi kewenangan kembali kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakilnya.
Sebagaimana dalam Pasal 28 ayat (1), pemungutan suara, perhitungan suara, dan penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilihan dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Selain mengatur soal pemilihan kepala daerah menjadi tidak langsung, undang-undang tersebut juga memerintahkan pelaksanaan pilkada serentak setiap lima tahun sekali secara nasional. Kendati demikian, UU Nomor 22 Tahun 2014 mendapat pertentangan dari berbagai pihak, yang menginginkan pilkada tetap digelar secara langsung.
Penolakan yang demikian masif dari masyarakat menjadikan undang-undang tersebut dicabut pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di era Jokowi, pemerintah menerbitkan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 menjadi Undang-Undang. Dengan UU tersebut, kepala daerah kembali dipilih secara langsung oleh rakyat, yang turut menandai era pilkada serentak di Indonesia.
Sumber : kompas.com