Indeks
Berita  

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional 2025, Fadhil Raga: Momentum Kembali Bersatu untuk Membangun Negeri

Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh pada 20 Mei 2025 merupakan momen untuk menguatkan persatuan kita dalam menghadapi berbagai tantangan global. Tahun ini sudah ke-117 kalinya Hari kebangkitan Nasional diperingati dengan mengusung tema “Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat”. Tema ini menggambarkan semangat kolektif seluruh komponen bangsa untuk bangkit dari berbagai tantangan dan bergerak maju menuju Indonesia yang lebih kuat, mandiri, dan sejahtera.

Untuk memulai kebangkitan bangsa, diperlukan sikap yang tulus, jujur, dan saling percaya. Kita harus selalu ingat bahwa kemerdekaan yang dimiliki Indonesia merupakan hasil pengorbanan para pahlawan yang bersatu mengesampingkan perbedaan suku, agama, dan pribadi demi mencapai satu tujuan.

Namun, di tengah ketidakpastian yang ada di dunia, kita juga dihadapkan pada tantangan dalam politik dalam negeri. Demokrasi dan kebebasan untuk menyuarakan pendapat sedang diuji, sementara lapangan pekerjaan semakin berkurang dan jumlah pengangguran meningkat. Dalam kondisi ini, konflik kepentingan dan fanatisme semakin muncul, di mana perbedaan pendapat dipandang sebagai ancaman. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dialektika yang seharusnya menjadi dasar bagi demokrasi.

Ada dua permasalahan yang harus kita hadapi pada Hari Kebangkitan Nasional: krisis kejujuran dan krisis toleransi. Indonesia kini mengalami krisis kejujuran, yang terlihat dari maraknya kasus korupsi, terutama di kalangan para pejabat. Tindakan korupsi tersebut merusak nilai-nilai kejujuran dan mengancam prinsip demokrasi Pancasila. Meskipun negara ini sudah merdeka lebih dari 79 tahun, masyarakat masih menghadapi berbagai tantangan di bidang ekonomi dan pendidikan.

Filosofi Pancasila, yang menekankan keadilan sosial, belum sepenuhnya diterapkan. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya amanah dari para pemimpin yang berujung pada berkurangnya kepercayaan masyarakat. Seharusnya pemimpin itu melindungi dan memberikan rasa aman kepada rakyat, tetapi nyatanya banyak yang melanggar etika dan normanya.

Krisis toleransi juga menjadi masalah yang signifikan. Banyak informasi yang tidak benar dan ujaran kebencian beredar, mengganggu tatanan sosial. Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia masih memegang teguh semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan saling menghormati. Kondisi ini menunjukkan adanya stagnasi dalam kehidupan berbangsa, yang perlu segera diatasi dengan menumbuhkan kembali rasa keterikatan kepada tanah air dan nilai-nilai positif.

Sebagai penutup, penulis mengingatkan bahwa kerusakan dalam masyarakat tidak hanya disebabkan oleh orang-orang jahat, tetapi juga oleh mereka yang memilih untuk tidak peduli. Dalam konteks ini, karakter Hulk dari film Avengers bisa menjadi contoh. Hulk, yang meskipun emosional, tetap menahan diri untuk tidak membunuh, mencerminkan sikap yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin dalam menghadapi lawan politik dengan cara yang adil.

Perbedaan pandangan dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat adalah hal yang biasa, tetapi perbedaan tersebut tidak seharusnya menjadi alasan untuk merugikan orang lain. Kini adalah saatnya bagi kita untuk kembali kepada fitrah masyarakat Indonesia yang damai, bersatu, dan berkomitmen untuk membangun negara yang lebih baik, maju, dan bermartabat. (*)

Nomor TDPSE : 023714.1/DJAI.PSE/05/2025

Exit mobile version